Pencemaran Minyak Laut Timor dan Masa Depan Petani Rumput Laut Rote

Baomong Ide Part 6

Oleh Fera Ketty

Pencemaran laut Timor Montara dan petani rumput laut Rote

Baomong Ide merupakan diskusi online yang melibatkan member grup WhatsApp Rote Bergerak yang merupakan wadah untuk saling mengenal antar anggota grup dan wujud tenunan kolaborasi antar berbagai komunitas maupun individu yang sama-sama bergerak untuk pengembangan Sumber Daya Manusia di Rote.

Pada Jumat, 18 November 2016, telah dilaksanakan Baomong Ide untuk kali keenamnya. Diskusi yang dimoderatori oleh nona Sonia Kiuk mengangkat tema aktual yang sangat menarik yaitu Pencemaran Minyak Laut Timor dan Masa Depan Petani Rumput Laut Rote. Kali ini Baomong Ide berhasil mengundang seorang narasumber muda yang aktif berjuang untuk membela petani rumput laut di Rote melalui Seaweed Project yaitu Sdr. Seluz Fahik.

Diskusi dimulai dengan sesi perkenalan oleh Narasumber dan beberapa peserta diskusi yang baru bergabung di grup. Sdr. Seluz Fahik yang merupakan alumni dari University of Melbourne, Australia, saat ini sedang terlibat project Montara Class Action bersama kantor pengacara Ward Keller dari Darwin dan Maurice Blackburn dari Sidney. Beliau juga merupakan staff pengajar di Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang dan research associate di Institute of Resource Governance and Social Change (IRGSC) Kupang. Sdr. Seluz juga memperkenalkan beberapa rekannya yang terlibat dalam proses Class Action yaitu Toni Kopong, Victor Patimangu, Vani Dimu, Jack Loloin dan Dea Boeky. Selain itu, peserta istimewa yang hadir dalam diskusi tersebut adalah Kolonel Yudianto yang adalah Ahli strategi militer Indonesia sekaligus dosen di akademi pertahanan militer di Canberra. Latar belakang beliau adalah marinir dan pakar soal isu-isu strategi nasional serta batas wilayah.

Sdr. Seluz mengawali diskusi dengan menjelaskan sejarah singat terjadinya pencemaran laut Timor oleh kilang minyak Montara. “Jadi pada tanggal 21 Agustus 2009, kilang minyak Montara milik perusahaan PTTEP Australasia meledak dan mengakibatkan oil leak selama 74 hari hingga 3 November 2009. Karena pengaruh arus dan angin, minyak yang menyembur tersebut terbawa hingga laut Timor.” paparnya.

Ketika ditanya oleh moderator mengapa kasus yang sejak tahun 2009 baru di proses di tahun 2016, beliau mengatakan bahwa Kilang minyak Montara tersebut berlokasi di perbatasan perairan Indonesia dan Australia bagian utara. Untuk mendaftarkan kasus ini ke pengadilan federal butuh uang yang lumayan banyak. Sejak tahun 2010, kasus ini mulai diteliti, pengumpulan sampel untuk diuji di laboratorium hingga pengajuan proposal dana untuk mendapatkan sponsor pihak ketiga. Butuh waktu untuk akhirnya mendapatkan sponsor yang akhirya mau membiayai pengumpulan bukti hingga mendaftar ke pengadilan Federal Australia dengan tuntutan dampak akibat penurunan produksi rumput laut dan pengrusakan lingkungan. Sdr. Jakc Loloin menambahkan bahwa kasus ini merupakan tuntutan massal pertama dan terbesar sepanjang sejarah Indonesia dan bahkan sejarah Australia.

Sdr. Seluz menyebutkan bahwa Lembaga yang membantu proses penelitian kasus ini adalah Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB) dibawah pimpinan bapak Ferdi Tanoni, Lembaga pendana Harbour dari Inggris, kantor pengacara Ward Keller pimpinan Greg Phelps, dan Maurice Bluckburn pimpinan Prof. Piter Cashman.

Mendengar topik dan penjelasan narasumber yang sangat menarik membuat beberapa peserta tidak sabar untuk bertanya sehingga pertanyaan-pertanyaan pun mengalir tanpa terbendung.

Riset

Terkait dengan pencemaran pada tahun 2009, Sdr. Muhammad Firdaus atau biasa di sapa kak Edo sebagai penanya pertama pun bertanya “Apa sudah ada riset yang membuktikan karena kejadian itu pengaruhnya besar kepada produksi rumput laut dan seberapa besar? Dan Bagaimana dengan biota yang lain? Misalnya ikan, dan lain-lain?”

Sdr. Seluz menjawab “Riset sudah dilakukan secara independen oleh seorang komisioner dari Australia sejak tahun 2010 dan hasilnya terjadi penurunan produksi yang cukup drastis sejak tumpahan minyak tersebut. Ada juga dampak terhadap ikan dan biota lain, akan tetapi tuntutan yang diusung ke pengadilan Federal baru sebatas rumput laut. Alasannya adalah bukti yang baru bisa dihimpun adalah kerusakan rumput laut dan terkait pihak sponsor yang memberi dana untuk pengumpulan data dan tanda tangan petani rumput laut yang terkena dampak untuk bergabung sebagai penggugat.”

Pertanyaan lain tentang riset yang dilakukan oleh tim Ward Killer datang dari Sdr. Jeki yang menanyakan “Bagaimana proses riset mengukur produksinya? Interview atau cara monitoring yang lain, misalnya dari remote sensing?”.

“Dari data primer lewat wawancara langsung kepada petani dengan didukung dengan data sekunder dari BPS, kementerian KKP dan FAO.” papar Sdr. Seluz.

Kak edo pun lalu meminta data atau hasil riset yang bisa dibagikan di forum diskusi namun menurut Sdr. Seluz mereka belum dapat membagikan di forum ini karena masih dalam tahap pengumpulan.

Dampak Pencemaran Terhadap Petani Rumput Laut

Mengenai dampak terhadap petani rumput laut pasca pencemaran, Sdri Tiwi dan Sdr Jeki mengajukan pertanyaan dengan antusias “Oil leak selama 74 hari itu dampaknya sama dengan penurunan produksi, detailnya dalam berapa persen? Prediksi dampak kedepan yang masih mungkin terjadi?”. Dengan mantap Sdr. Seluz berkata “Oil leak yang terjadi selama 74 hari tersebut cukup berdampak drastis terhadap penurunan produksi. Saat ini saya belum bisa memberikan berapa persen karena saya juga masih dalam tahap olah data perihal penurunan produksi ini. Akan tetapi, sejauh wawancara di meeting dengan petani rumput laut, akibat tumpahan minyak ini terjadi penurunan antara 80-90% di tahun 2009 dan 2010. Sesuai data statistik, mulai tahun 2014, produksi rumput laut mulai mengalami sedikit peningkatan.”

Senada dengan penjelasan narasumber, seorang pesera setia diskusi grup Rote Bergerak, Pdt.Iswardy Lay, menceritakan pengalamannya “Beta termasuk salah satu orang yang ikut memantau tumpahan minyak Montara. Tanggal 5-6 November 2009 beta bersama wartawan The West Australian melakukan tumpahan minyak tersebut dan hasilnya di tulis pada koran tersebut. Sejak tahun 2009, produksi rumput laut Rote mengalami penurunan.”

Melihat situasi produksi dan pemasaran rumput laut saat ini, Sdr. Jeki pun bertanya lagi “Saya dulu tinggal bersama petani nelayan rumput laut, dan memang rumput laut yang “jadi” semakin sedikit. Tetapi masyarakat juga semakin sedikit yang tanam rumput laut karena harga menurun terus. Mengapa produksi menurun tetapi harga ikut menurun? Apakah sebetulnya kalau dari pertanian rumput laut ada faktor produksi yang lain juga? Atau ada penurunan kualitas hasil?” Langsung di jawab oleh Sdr. Seluz “Mengenai penurunan harga, saya sendiri belum tahu alasan pastinya. Menurut testimoni langsung dari hampir sebagian besar dari petani yang kami temui, petani sendiri tidak punya kontrol atas perubahan harga. Mereka pun tidak tahu mengapa harga produksi ikut menurun. Hipotesa saya mungkin karena kualitas rumpu laut setelah tumpahan minyak mengalami penurunan.”

Menanggapi masalah harga rumput laut saat ini, Kak Edo menanggapi bahwa “Kalau lihat sampel hasil panen kualitasnya masih bagus. Faktor utama turun harga lebih ke permainan pasar. Karena waktu saya ke Nuse yang notabene menjual menjual langsung rumput laut ke Kupang alias tidak lewat tengkulak, harga jual mereka stabil (harga nasional).“

Khawatir dengan kondisi petani-petani rumput laut saat ini, kak Edo kembali bertanya “Kandungan apa yang beda antara yang terdampak dengan tidak? Apa masih sampai sekarang?”

“Sampai sekarang kandungan minyak sudah hampir tidak ditemukan. Air laut yang tercemar oleh tumpahan minyak ini berubah warna seperti ter, kecokelatan, akan terlihat seperti ada pelangi pada permukaan air laut. Saat tumpahan minyak ini terjadi, ada zat kimia dispersan yang juga ditumpahkan ke laut Timor untuk mengecerkan minyak yang terapung diatas permukaan laut dan menyerap minyak tersebut ke bawah dasar laut.” Jelas Sdr. Seluz.

Tindakan Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia serta Perjuangan Tim Ward Keller

Mempertanyakan dukungan pemerintah untuk kasus ini, nona Sonia kembali bertanya kepada narasumber “Apa tindakan dari pemerintah tentang kerusakan yang terjadi yang merusak rumput laut dan mengurangi pendapatan para petani rumput laut?”

Sdr. Seluz berkata “Sejak pemerintahan bapak Susilo Bambang Yudoyono, kasus ini pernah diurus akan tetapi belum membuahkan hasil karena kekurangan bukti yang cukup dan hukum Indonesia belum dapat meng-cover masalah hukum internasional seperti kasus Montara ini. Saat pemerintahan Jokowi, Yayasan Timor Barat mendapat dukungan penuh melalui ibu Menteri Susi untuk sepenuhnya mengurus kasus Montara ini. Sejauh ini pemerintah setempat cukup kooperatif dalam memfasilitasi tim Ward Keller, contohnya Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Rote Ndao, sangat membantu hingga saat ini.”

Lalu Sdr. Jeki mempertanyakan respon pemerintah Australia “Apa yang dilakukan pemerintah Australia sejauh ini? Apakah ada yang dilakukan terhadap Montara? Apa yang dilakukan Montara setelah oil leak sampai saat ini? (Baik terhadap produksinya sendiri, terhadap penggugat masyarakat Indonesia maupun pemerintah Australia) apakah ada perubahan aktivitas di wilayah kilang di perbatasan Indonesia?” Dengan gamblang Sdr. Seluz menjawab “Pemerintah Australia sepertinya mau cuci tangan, kalau mau dibilang. Sejak tahun 2010 belum begitu berinisiatif memfasilitasi kasus ini karena saham perusahaan PTTEP juga milik Australia selain Thailand. Untuk itu, YPTB dalam hal ini pak Ferdi Tanoni betul-betul menyayangkan respon pemerintah Australia. Kasus ini berhasil didaftarkan setelah 7 tahun perjuangan. Atas inisiatif dan kerja keras pak Ferdi bersama Ward Keller dan Maurice Blackburn. Saya sendiri belum begitu update apa yang terjadi terhadap kilang minyak Montara ini. Saya juga tidak tahu perubahan apa yang terjadi di wilayah kilang minyak ini. Kami fokus ke tanda tangan petani rumput laut yang merasa dirugikan untuk bersama bergabung bersama pertani rumput laut di Semau dan kabupaten Kupang untuk menjadi pihak penggugat. Jadi kasus ini sudah didaftar di pengadilan federal Australia bulan Agustus 2016 kemarin.

Masih memikirkan nasib petani-petani rumput laut, kak Bunggati Umbu Weni yang menyimak dalam diam akhirnya bertanya “Apa isi tuntutan utama ke pengadilan yang hasilnya akan bermanfaat bagi masyarakat Rote dalam hal ini petani rumput laut?”

“Salah satu tuntutan penting adalah penggantian ganti rugi atas kerugian ekonomi yang diderita petani rumput laut yang terkena dampak tumpahan minyak.” Jawab Sdr. Seluz.

Kontibusi Kita

Moderator pun menutup sesi bertanya dengan memberikan pertanyaan terakhir mengenai apa tindakan dan dukungan kita sebagai orang awam untuk mendukung perjuangan pemerintah dan teman-teman Ward Keller.

Sdr. Seluz berkata “Saya mewakili teman-teman dari Ward Keller mengucapkan terimakasih atas undangan untuk berbagi dengan teman-teman semua disini. Sebagai kaum awam kita bisa berpatisipasi untuk bisa memberikan informasi bagi kenalan, kerabat ataupun saudara kita yang terkena dampak tumpahan minyak, bahwa ini bukan bantuan untuk para petani tetapi ini adalah kasus gugatan massal yang masih perlu melalui sidang. Sebagian besar petani masih berpkir ini adalah bantuan, jadi jika teman-teman bisa membantu meneruskan informasi ini, ini akan sangat membantu proses persidangan selanjutnya.

Salah satu amggota tim Ward Keller, kak Victor Patimangu, kemudian menghimbau dan mengatakan bahwa masih banyak masyarakat di Rote yang belum memahami secara benar dan utuh tentang kasus ini, bahkan ada yang belum mendengar sekalipun, sehingga mengusulkan agar kita sama-sama dapat menyuarakan kepada masyarakat melalui diadakannya forum diskusi terbuka secara langsung di Rote.

Saran-Saran

Selama diskusi berlangsung Kolonel Yudianto menangggapi bahwa hal yang penting adalah bukti yang kuat dan harus ada data pemanding antara sebelum dan sesudah. Kalau ada yang bisa membuktikan rumput laut tersebut terkandung B3 dari tumpahan minyak tersebut itu bisa cukup kuat. Namun ada hal-hal atau bukti yang tidak bisa dipungkiri bahwa Montara sudah menumpahkan minyak melalui gambar satelit. Diakhir diskusi beliau menyarankan:

  1. Jangan sampai masyarakat terkesan hanya ingin mendapat uang kompensasi
  2. Harus dibantu dengan data scientific
  3. Hal yang harus diutamakan adalah harga diri bangsa
  4. Pengakuan yang diperkuat secara yuridis akan bermanfaat untuk masa depan
  5. Mendorong pemerintah untuk memasukkan dalam agenda hubungan bilateral
  6. Meminta pemerintah untuk memberikan rekomendasi kepada tim

Kata-kata penutup yang menggugah dari Kolonel Yudianto tersebut dijadikan catatan oleh narasumber dan juga oleh semua peserta diskusi.

 

whatsapp-image-2016-11-20-at-00-37-05

5 Tanggapan

  1. Terima kasih atas dibukanya forum diskusi ini…..bukti2 ilmiah dan bukti lain untuk layaknya sebuah perkara tentu sudah dipersiapkan yah….yang penting sekarang adalah kerjasama dan kesamaan langkah dari masyarakat korban untuk memperlancar tugas2 yang sedang dijalankan di Pulau Rote…….Hormat

    • Terima kasih buat komennya. Terima kasih buat langkah konkrit yang dijalankan oleh teman2 West Timor. Satu hal yang belum kami bahas adalah bagaimana kehidupan ekonomi petani rumput laut saat ini andaikata proses ini ternyata memakan waktu yang cukup panjang.

  2. […] Sumber: Pencemaran Minyak Laut Timor dan Masa Depan Petani Rumput Laut Rote […]

Berikanlah komentarmu